Artikel Terkait:
Gold- G Sea Cucumber meregenerasi sel-sel paru yang rusak
Penyakit Epilepsi & TBC Saya Tidak Kambuh Lagi & Sembuh
TBC Paru, Penyebab, Gejala dan Penanggulangannya
Pemeriksaan-pemeriksaan General Check Up & Gunanya
Indonesia menempati urutan kelima dalam daftar negara dengan jumlah pasien tuberkulosis tertinggi di dunia. Sebelumnya Indonesia menduduki urutan ketiga setelah India dan China, kemudian urutan kelima karena jumlah kasus TB di Afrika Selatan dan Nigeria meningkat melebihi Indonesia.Gold- G Sea Cucumber meregenerasi sel-sel paru yang rusak
Penyakit Epilepsi & TBC Saya Tidak Kambuh Lagi & Sembuh
TBC Paru, Penyebab, Gejala dan Penanggulangannya
Pemeriksaan-pemeriksaan General Check Up & Gunanya
Dari sisi jumlah, terjadi penurunan kasus baru tuberkulosis (TB). Kalau tahun 2007 total kasus tuberkulosis berjumlah 528.000 kasus, tahun 2008 berjumlah 429.730 kasus. Meski demikian, di Indonesia tuberkulosis masih menempati urutan kedua (7,5 persen) pola penyebab kematian semua umur (Riskesdas 2007) setelah stroke.
Penyakit sistem pernapasan menjadi urutan pertama dalam pola 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat jalan di rumah sakit pada tahun 2008. Angkanya mencapai 469.067 dengan rasio perawatan 1,86.
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman tuberkulosis menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lain, seperti kelenjar, tulang, sistem saraf, sistem pencernaan, sistem reproduksi, dan lainnya.
Penyakit ini menyebar melalui percikan dahak yang beterbangan di udara. Berdasarkan perhitungan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), tuberkulosis menyumbang 6,3 persen dari total penyakit berbahaya di Indonesia dibandingkan dengan 3,2 persen di wilayah Asia Selatan.
Tuberkulosis sebagian besar menyerang usia produktif antara 15 dan 45 tahun sehingga selain meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas, penyakit ini juga menurunkan produktivitas masyarakat. Peningkatan kasus infeksi HIV/AIDS juga berkorelasi dengan peningkatan kasus tuberkulosis ini. Data menunjukkan, 3 persen dari kasus baru tuberkulosis terjadi pada pasien dengan HIV positif. Padahal, beberapa daerah memiliki insiden HIV tinggi, seperti di Papua, Kalimantan Barat, Bali, Sumatera Utara, dan Jakarta.
Gambaran tuberkulosis pada HIV kadang-kadang tidak khas, terutama bila HIV-nya sudah lanjut, sehingga mungkin tidak terdiagnosis dan berdampak pada keterlambatan pengobatan. Selain itu, pemberian obat anti-TB bersamaan dengan pemberian obat antivirus (ARV) untuk menangani HIV-nya bisa meningkatkan efek samping. Itu sebabnya mengapa kematian pasien HIV lebih cepat karena infeksi tuberkulosis.
Tantangan pemberantasan
Tahun 1992 upaya pengobatan jangka pendek dengan pengawasan langsung (directly observed treatment short-course/DOTS) pertama kali dilakukan di Sulawesi. Menurut WHO, upaya ini telah menunjukkan keberhasilan dan telah diperluas dengan cakupan 98 persen pada tahun 2005 dan hampir 100 persen pada tahun 2007.
Namun, selain munculnya HIV/AIDS yang berkorelasi erat dengan tuberkulosis, tantangan lain pemberantasan penyakit ini adalah juga masalah resistensi obat atau
TB-multidrug resistance (TB-MDR), yaitu kuman tuberkulosis kebal atau resisten terhadap obat isoniazid (INH) dan rifampisin.
Rifampisin dan INH adalah dua obat TB yang sangat penting dan menjadi tulang punggung dalam pengobatan TB. Keduanya bersifat bakterisida yang artinya dapat membunuh kuman. Obat yang lain bersifat bakterostatik, yang fungsinya hanya menghambat pertumbuhan kuman.
Walau TB-MDR masih relatif rendah, jumlah kasus TB-MDR di Indonesia cukup mengkhawatirkan karena jumlah pasien TB cukup besar. WHO memperkirakan, ada 6.427 kasus TB-MDR dengan hasil dahak positif atau 2 persen dari kasus tahun 2007.
Dari kasus TB dengan pengobatan ulang (re-treatment), ada 20 persen kasus dengan TB-MDR. Meski sektor swasta juga melayani TB, sampai saat ini angka penjaringan dan keberhasilan tidak tercakup dalam sistem survei Program Penanggulangan TB. Kegagalan pengobatan termasuk terputusnya pengobatan dan penyalahgunaan obat anti-TB (OAT) di RS menjadi masalah dalam TB-MDR.
Insiden resistensi obat meningkat sejak diperkenalkannya pengobatan TB pertama tahun 1943. TB-MDR muncul seiring dengan mulai digunakannya rifampisin secara luas tahun 1970-an. WHO Stop TB Department memperkirakan insiden (termasuk kasus baru dan pengobatan ulang) yang terjadi di dunia pada tahun 2003 ada 458.000.
Kasus TB-MDR terjadi karena perbuatan manusia, yaitu tenaga kesehatan yang memberikan obat tanpa penyuluhan dan pengembangan motivasi yang cukup kepada pasien sehingga pasien tidak berobat secara teratur atau tidak menyelesaikan pengobatan (putus berobat). Di sisi lain, masih ada petugas kesehatan yang tidak memberikan obat dengan tepat, baik dalam jumlah, jenis, maupun dosis.
Kenyataan di lapangan juga menunjukkan, obat ternyata tidak diberikan sesuai kriteria. Padahal, obat untuk pasien kasus baru tidak sama dengan obat untuk pasien putus berobat. Obat kasus kambuh tidak sama dengan kasus gagal pengobatan.
Adapun kesalahan pasien adalah tidak makan obat sesuai petunjuk. Yang umum terjadi adalah mereka mengurangi jumlah obat atau dosis karena ada efek samping atau menghentikan pengobatan sebelum waktunya karena merasa sudah sembuh.
Dalam upaya pemberantasan ini, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menerapkan ISTC (International Standard Tuberculosis Care). ISTC adalah program dari WHO bersama ATS (American Thoracic Society) dan organisasi dunia lain yang bergerak di bidang tuberkulosis. ISTC membantu menegakkan diagnosis TB lebih tepat dan lebih akurat sehingga pengobatan juga lebih pas.
Sumber: Faisal Yunus, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, kompas cetak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar